Oleh:
Faiz Aminuddin, MA*
Nabi Muhammad SAW merupakan sosok luar biasa yang menarik untuk dipelajari,
terlebih perjalanan hidupnya sejak kecil sampai dewasa yang secara umum dapat
diduplikasi oleh siapapun, termasuk untuk menduplikasi kesuksesan Nabi SAW
dalam berdagang atau berentrepreneur. Di mana semua langkah yang dilakukannya
berangkat dari sebuah proses, sejarah membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW mengawali
semua kesuksesannya dari nol, bukan karena warisan ataupun pemberian. Hal itu
tercermin dari kisah beliau
yang sejak usia 6 tahun sudah yatim piatu, dan di usia 8 tahun
harus ditinggal kakeknya untuk selama-lamanya, setelah itu ia tinggal bersama pamannya
Abu Thalib.
Semenjak
saat itu Muhammad kecil menjadi penggembala kambing sebagai cara untuk mandiri,
bisa dibayangkan bahwa anak sekecil itu harus mencari kehidupannya sendiri.
Bahkan di usia 12 tahun, Muhammad muda sudah harus berdagang ke berbagai daerah
untuk menemani pamannya. Namun tanpa disadari, langkah tersebut justru menempa
kemampuan entrepreneur Nabi SAW. Karena berangkat dari jalan itulah Muhammad
muda mendapatkan ilmu serta pengalaman yang sangat berharga dalam mengembangkan
kemampuan berdagangnya.
Singkat
cerita, tidak butuh lama Muhammad muda menjadi salah satu pedagang sukses di
Jazirah Arab pada waktu itu. Di usia 17 tahun, Muhammad muda sudah masuk
kategori entrepreneur besar dengan jalur perdagangan lintas negara, atau kalau
bahasa sekarang sudah bermain ekspor-impor. Selain karena keuletan dan kerja
kerasnya, modal utama kesuksesannya dalam dunia entrepreneur adalah konsistensi
dalam membangun trust sehingga wajar
bila Muhammad muda akhirnya mendapatkan julukan Al-Amin (dapat dipercaya). Prinsip
yang dibangun Muhammad muda yaitu jangan sampai mendapatkan uang dari cara-cara
yang bathil, seperti menipu, curang, mengurangi
timbangan dan lain sebagainya.
Menariknya
lagi, saat berada di puncak kejayaan sebagai seorang entrepreneur, Muhammad
muda tetap menjadi sosok sederhana, gemar berbagi, tidak sombong, lebih
mementingkan orang lain, dan tidak pernah memamerkan capaian-capaian yang sudah
diraihnya. Jejak-jejak menawan itulah, menjadikan mitra atau partner bisnis
Muhammad yang bernama Siti Khodijah tertarik dan ingin menikah dengan Muhammad.
Siti Khodijah sendiri merupakan seorang janda kaya raya, ia berangkat dari
keluarga terkemuka dan terhormat di kalangan penduduk Makkah. Bersatunya kedua
sosok tersebut, menjadi pertemuan serasi dan juga sejajar lantaran
mempertemukan dua pebisnis besar pada waktu itu.
Berkaca
dari kisah Nabi Muhammad SAW di atas, dapat menjadi dasar bagi para orang tua,
pendidik, dan lembaga pendidikan bahwa kemampuan berwirausaha atau berentrepreneur
bukanlah kemampuan yang tiba-tiba datang dari langit, namun merupakan hasil
dari didikan, latihan serta pengalaman yang memadukan antara teori sekaligus
praktek (langsung). Untuk itulah anak-anak di Indonesia harus ditanamkan spirit
enterpreneur sedini mungkin. Terlebih, pesan dari Nabi SAW yaitu jangan sampai
kita meninggalkan anak-anak kita dalam keadaan dhoif (lemah), baik dhoif
(lemah) imannya, aqidahnya, akhlaqnya, pendidikannya, maupun hartanya. Kenapa
lemah harta juga menjadi titik konsentrasi Nabi SAW, karena kemiskinan sangat
dekat dengan kekufuran. Naudzubillah.
Bahkan
apabila ditarik dalam konteks yang lebih luas, data menunjukkan bahwa masyarakat
yang berentrepreneur masih sangat jauh dari harapan. Di Indonesia,
kelompok masyarakat yang bergerak di dunia entrepreneur baru diangka sekitar 1
%, dan bahkan ada yang mengatakan di bawah 1 %. Jauh bila dibandingkan dengan
Malaysia atau Singapura yang berada diangka 4-5 %, bahkan sangat jauh lagi
apabila dibandingkan dengan Korea Selatan, China, atau Jepang yang mencapai angka
8-11 %. Tidak
mengherankan bila negara-negara tersebut masyarakatnya hidup sejahtera, dan peluang
pekerjaan melimpah sehingga sampai mampu menampung warga negara lain untuk
bekerja di sana.
Sementara
di Indonesia, angka pengangguran dan kemiskinan terus bertambah setiap harinya.
Menurut data dari BPS bulan September 2016 angka kemiskinan mencapai 10%
lebih, atau sekitar 27 juta jiwa. Angka sebesar itu tentunya perlu dicarikan
solusi, dan tidak mungkin hanya mengandalkan pemerintah untuk bisa
menyelesaikan masalah ini. Peran serta dari masyarakat sangat dibutuhkan untuk
ikut membantu mengurai PR (pekerjaan rumah) besar bangsa ini, sehingga lahirnya
entrepreneur-entrepreneur baru menjadi kebutuhan yang mendesak. Tidak berlebihan bila jihad dalam konteks
kekinian salah satunya adalah dengan membuka lapangan pekerjaan.
Realitas
di atas membutuhkan keseriusan dari semua pihak agar anak-anak, para pelajar,
dan mahasiswa dikenalkan dan diberi ruang untuk mengembangkan kemampuan
entrepreneurnya supaya bisa terus berkembang. Mental entrepreneur seperti kreatif,
inovatif, dan berani harus ditanamkan dalam proses pembelajaran secara
berkelanjutan. Mental pencari kerja dalam diri anak harus dikubur dalam-dalam,
sebab sampai saat ini banyak sekali para orang tua dan lembaga pendidikan tanpa
sadar justru senantiasa menanamkan mental-mental pencari kerja atau pegawai. Padahal
bangsa ini sudah terlalu banyak diisi oleh orang-orang bermental karyawan atau
pegawai.
Sudah saatnya kultur baru dibangun dengan membiasakan anak-anak dan para
pelajar diberi
kail bukan ikan. Bahkan sebisa mungkin, sedini mungkin anak-anak sudah diajari
ilmu entrepreneur seperti yang dulu Rasulullah SAW dapatkan. Bagaimana
Rasulullah SAW sejak usia 12 tahun ikut berdagang pamannya, dan ikut berdagang
(menemani pamannya Abu Thalib) ini termasuk bagian dari proses belajar,
training atau sekolah entrepreneur. Sampai akhirnya Rasulullah SAW berani berdagang
sendiri (mandiri) dan benar-benar sampai pada titik kesuksesan besar. Apalagi
Nabi Muhammad SAW sudah menegaskan bahwa 9 dari 10 pintu rezeki adalah berasal
dari kegiatan perniagaan. Hal ini menunjukkan bahwa 90% pintu rezeki dikuasai
oleh para pelaku usaha.
Sekarang
saja bisa menyaksikan bahwa dari perputaran uang di Indoenesia, 80-90% dikuasai
oleh para pelaku usaha, sebut saja Rudi Hartono, Ciputra, Chairul Tanjung, Abu
Rizal Bakrie dan lain-lainnya. Dengan peluang yang masih terbuka lebar, tetapi
mengapa masih banyak orang yang takut menjadi entrepreneur? Jawabannya
disebabkan entrepreneur adalah dunia (penuh) resiko dan dunia
keberanian, makanya tidak banyak orang yang berani melangkahkan kakinya di
dunia entrepreneur. Akan tetapi, bukankah hidup ini memang selalu mengandung
resiko, dan bukankah hidup ini memang membutuhkan keberanian dalam segala hal.
Hanya saja, bagi para pelaku usaha justru menjadikan resiko sebagai seni yang
harus dinikmati, sehingga akhirnya memiliki nyali untuk berani mengambil
resiko, berani berspekulasi, dan berani mencoba ide-ide baru. Prinsipnya, saat
mengalami kegagalan harus tetap bangkit, dan saat sukses harus tetap membumi
serta terus memperbaiki kualitas.
Oleh karena itu, kiranya menjadi relevan jika para orang tua mendorong putra-putrinya
untuk berani memulai berentrepreneur seperti yang pernah dilakukan Rasulullah
SAW agar nantinya mereka sudah memiliki banyak pengalaman dan ilmu
(entrepreneur). Dengan demikian, kedepan mereka tidak ke sana kemari untuk
mencari pekerjaan, bahkan harapannya mereka akan menjadi penyedia lapangan
pekerjaan. Bagi lembaga pendidikan, pertama,
sudah saatnya lembaga pendidikan tidak hanya memfokuskan pada kuantitas,
infrastruktur, dan nominal semata, tetapi juga mengajari para anak didik supaya
melek teknologi, melek bisnis, dan diajari soft
skill. Alhasil saat mereka keluar dari sekolah atau kampus mereka sudah
siap untuk mandiri. Kedua, sudah
saatnya lembaga pendidikan di semua tingkatan menjadikan entrepreneur sebagai
ruh dalam semua proses kegiatan belajar-mengajar.
Manakala gerakan entrepreneur mampu menyebar ke semua lapisan masyarakat
dari semua tingkatan, sudah barang tentu kesejahteraan Bangsa Indonesia tinggal
menunggu waktu. Harus selalu diingat jadikanlah Rasulullah SAW selalu
bergembira karena melihat umatnya menjadi golongan yang kuat (termasuk kuat ekonominya).
Dengan ekonomi yang kuat, peluang untuk menjadi orang yang bermanfaat akan jauh
lebih mudah. Mari jadikan bulan Ramadhan ini sebagai momentum untuk hijrah dan
mengawali untuk berani melangkah ke dunia entrepreneur Wallahu ‘a’lam.
*Kaprodi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) Institut Pesantren Mathali’ul Falah (IPMAFA) Margoyoso Pati
0 Comments