Sabtu (04/12/2021) Himpunan Mahasiswa Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam (HMPS PMI) Institut Pesantren Mathali’ul Falah kembali melakukan kegiatan Fordismi (Forum Diskusi Mahasiswa PMI) dengan tema “Moderasi Beragama”. Kegitan ini bertempat di Aula II Lantai 2 Kampus IPMAFA yang dihadiri oleh narasumber luar biasa Ibu Kamelia Hamidah, MA, segenap jajaran Program Studi dan seluruh mahasiswa Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam.
Nur Khoiriyah, MA selaku Kepala Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam (Kaprodi) memberikan apresiasi kepada seluruh mahasiswa PMI karena kegiatan ini sangat positif, selain diskusi merupakan bagian dakwah sebagai mahasiswa yang merupakan agen perubahan maka dibutuhkan pemikiran-pemikiran kritis dan logis yang semua itu dapat didapatkan dari diskusi, sehingga harapannya kegiatan ini terus dilaksanakan secara konsisten.
Keberagaman dan perbedaan
merupakan suatu hal yang tidak bisa terlepas dari kehidupan umat manusia.
Keberagaman dan perbedaan tersebut harus kita sikapi dengan bijaksana dan
saling menghargai. Tidak terkecuali dalam urusan keagamaan, khususnya dalam
konteks negara Indonesia. Dimana terdapat macam-macam agama dan keyakinan yang
berbeda antara satu dengan yang lain. Dibutuhkan sikap moderat dalam beragama
ketika kita berhubungan dengan orang yang berbeda agama dan keyakinan dengan
kita. Pengertian Moderasi sendiri berasal dari Bahasa Latin yaitu moderatio
yang artinya ke-sedang-an. Bisa juga berarti penguasaan diri (dari sikap sangat
berlebihan atau kekurangan). Pengertian moderasi dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia ada dua yaitu pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman.
Istilah moderasi Islam dikenal dalam Bahasa Arab dengan istilah al-Wasathiyah.
Kata ini oleh Al-Qardawi serupa maknanya antara lain kata Tawazun, l'itidal,
Ta'adul dan Istiqomah (ucap Narasumber).
Dalam berinteraksi dengan
orang yang berbeda agama dan keyakinan, dibutuhkan sikap yang teliti dan
bijaksana, jangan sampai karena hal yang sepele membuat kita menjadi tidak
toleran dan bahkan memusuhi orang yang berbeda keyakinan dengan kita. Dalam
moderasi beragama hal perlu diperhatikan adalah bagaimana cara kita bersikap
moderat dalam beragama bukan agama yang harus moderat. Kita perlu mendengarkan
dan berdialog dengan orang-orang yang berbeda agama dan keyakinan dengan kita,
supaya bisa terjalin hubungan yang harmonis dan saling menghargai di antara
kita. Akan tetapi kita juga harus mengetahui batasan-batasan yang tidak boleh
dilanggar dalam agama masing-masing dan jangan sampai kita ikut hanyut ke
dalamnya. Karena musuh terbesar dalam kehidupan ini bukanlah adanya perbedaan
akan tetapi rasa kebencian, fanatisme yang berlebihan, extremisme, serta sikap
intoleran terhadap orang lain yang dapat menghancurkan tatanan kehidupan umat
manusia. Kalau kita menganggap agama sebagai acuan menang dan kalah dalam
berinteraksi maka sejatinya kita tidak memahami esensi dari ajaran agama yang
di ajarkan di dalamnya. Dibutuhkan tiga cara pendekatan dalam berdialog dengan
mereka yang berbeda agama dan keyakinan. Pertama pendekatan head, yaitu pola
pikir yang dimiliki harus memiliki pemikiran kebijaksanaan dalam berinteraksi
kepada orang yang berbeda dengan kita. Kedua pendekatan hand, diperlukan aksi
nyata di dalam melaksanakan moderasi beragama dengan cara saling tolong
menolong dalam hal sosial, saling menghargai dan menghormati. Ketiga pendekatan
heart, yaitu dibutuhkan rasa saling mencintai terhadap sebuah kedamaian yang di
idamkan oleh semua orang. Ada sebuah statement menarik dalam akhir penjelasan
materi oleh narasumber yang dikutip dari buku karangan RA. Kartini yaitu
"Agama memang menjauhkan kita dari dosa, akan tetapi berapa banyak dosa
yang dilakukan atas nama agama". Dalam kehidupan masyarakat yang plural
dan bermacam-macam ini, dibutuhkan rasa saling menghargai dan menghormati
antara satu sama lain supaya tercipta sebuah kedamaian.
Pada akhir diskusi narasumber memberikan closing statement yang menarik yaitu "Jangan bosan untuk mencintai orang lain, karena meskipun disakiti kita tidak akan membalasnya". Begitu dalam sekali makna yang tersirat di dalam ungkapan tersebut. Bahwasanya kita harus selalu memiliki rasa cinta kepada semua orang dan tidak memandang dari mana latar belakang mereka serta mengabaikan berbagai bentuk perbedaan yang ada pada diri mereka. Karena dengan hal tersebut akan tercipta suatu kedamaian dan hubungan harmonis dalam tatanan kehidupan umat manusia. (Abdul Qadir, Mahasiswa PMI Semester V)
0 Comments