Hanya saja, “kesaktian palsu” Dimas Kanjeng
lama-kelamaan mulai terbongkar karena praktek penggandaan uang yang
dilakukannya selama ini ternyata penipuan. Meskipun demikian, fakta menunjukkan
korban dari Dimas Kanjeng ada di mana-mana, hampir disemua provinsi ditemukan
korban Dimas Kanjeng. Jumlahnya pun tidak sedikit, sekalipun tidak ada angka
pasti namun diprediksi mencapai ribuan orang di seluruh Indonesia.
Parahnya lagi, di antara nama-nama pengikut Dimas
Kanjeng terdapat juga nama tokoh nasional yang memiliki riwayat pendidikan yang
mumpuni, lulusan salah satu kampus ternama di Amerika. Artinya, melihat
realitas yang ada dapat dikatakan bahwa rasionalitas masyarakat Indonesia sedang
mengalami kelabilan. Hal demikian dapat dibuktikan dengan terus berulangnya
kejadian demi kejadian yang hampir sama, dan selalu saja banyak yang percaya dan
menjadi korban.
Untuk
itulah, fenomena tersebut menarik untuk dikaji dalam diskusi bulanan yang
diadakan oleh Prodi PMI IPMAFA (01/11/16). Diskusi tersebut membahasa fenomena masyarakat Indonesia yang
begitu mudah terjebak dalam iming-iming semu, sesuatu yang tidak masuk akal
atau irrasional. Sampai-sampai para pengikut Dimas Kanjeng meyakini kalau Taat
Pribadi adalah orang yang mempunyai karomah seperti yang dimiliki oleh para
wali. Sikap-sikap yang tidak wajar inilah yang menjadi bahan perenungan kita
bersama.
Sebagai
narasumber Faiz Aminuddin, MA
menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia itu secara umum layaknya daun kering. Mereka mudah terbawa arus, mudah terbawa isu, mudah terprovokasi dan mudah
terdoktrin. Tidak mengherankan bila hampir semua aliran-aliran baru atau aliran-aliran
“nyeleneh” dengan ajaran yang tidak jelas rimbanya tetap saja dipercaya dan memiliki
pengikut yang jumlahnya tidak sedikit.
Lebih lanjut, menurut Kaprodi PMI ini terdapat beberapa
faktor yang menyebabkan banyaknya orang yang tertarik menjadi pengikut
Taat Pribadi. Pertama, iman yang lemah, harus diakui bahwa jumlah masyarakat
yang awam lebih banyak mendominasi masyarakat kita, banyak yang mengaku Islam
namun tidak lebih hanya sekedar pengakuan lisan saja, tidak sampai pada maturation.
Kedua, tradisi animisme dan dinamisme yang sudah
berlangsung berabad-abad lamanya di bumi Nusantara, dan pengaruhnya masih terus
menghinggapi sebagian masyarakat. Untuk itulah, bisa dirasakan sampai sekarang pengaruhnya,
di mana kepercayaan terhadap hal-hal mistis atau adanya kekuatan-kekuatan mistis
yang dihasilkan dari benda-benda tertentu masih banyak dijumpai dalam kehidupan
masyarakat kita.
Ketiga, budaya pragmatis yang menjangkiti masyarakat
Indonesia, semisal pengen kaya tetapi tidak mau kerja keras. Keempat, kemiskinan
yang masih diangka sangat besar, dan ini terus menjadi PR besar bangsa Indonesia
mengingat kemiskinan akan mendorong seseorang untuk rela bertindak di luar
batas kewajaran. Kelima, masyarakat yang apatis dan permissive, sekarang ini masyarakat Indonesia sudah berperilaku ke arah
individualis, budaya untuk saling mengingatkan sudah langka ditemukan.
Sebagai penutup, alumnus
Psikologi Sosial UGM ini memaparkan bahwa keadaan ini harusnya menjadi
pelajaran bagi para tokoh agama bersama-sama dengan pemerintah untuk terus menerus
mengedukasi masyarakat supaya akidahnya dapat kokoh sehingga ke depan apabila
terjadi kejadian serupa mereka tidak akan mudah untuk mengikuti orang dan
ajaran-ajaran yang sesat.